GUNUNGKIDUL, iNews.id - Perbaikan 186 rumah rusak akibat terjangan angin puting beliung yang melanda Kalurahan Mulusan, Kapanewon Paliyan, Gunungkidul, akhir pekan lalu hampir selesai dilakukan. Meskipun cukup cepat, namun sebenarnya perbaikan ratusan rumah yang rusak akibat terjangan angin puting beliung tersebut sempat mengalami kendala. Perbaikan ratusan rumah ini terkendala dengan mitos yang berkembang di masyarakat, di mana kayu-kayu yang tumbang tidak boleh digunakan untuk membangun rumah.
Lurah Mulusan Agus Supodo mengakui adanya mitos tersebut. Orang-orang dulu atau sejak nenek moyang telah berkembang kepercayaan jika pohon yang tersambar petir jati, roboh karena bencana seperti puting beliung, tidak boleh digunakan untuk membangun atau memperbaiki rumah.
"Kalau digunakan kurang bagus karena ada aura negatif. Sehingga sampai sekarang ini kepercayaan masyarakat itu masih dipatuhi,"ujar dia, Sabtu (19/3/2022).
Tiga kepercayaan yang sampai saat ini masih dipatuhi oleh masyarakat terkait pohon yang roboh karena tersambar petir ataupun bencana lain. Di mana jika nekat digunakan atau dipasang, maka rumah akan roboh, kemudian yang menempati tidak tenang selama kayu belum diganti serta penghuni rumah akan selalu dihantui.
Di satu sisi, jika kayu tersebut dijual, maka hanya akan dihargai dengan nominal yang murah. Karena para pengepul akan mengetahuinya jika kayu tersebut adalah bekas pohon yang tumbang di mana masyarakat enggan menggunakannya.
"Ya itu, kalau dijual murah. Kalau digunakan bahaya," tambahnya.
Kendati demikian, kemungkinan besar ratusan pohon yang tumbang tetap akan mereka jual. Berapapun dana yang mereka dapat, nantinya akan digunakan oleh pemiliknya untuk kebutuhan.
Dengan demikian, hasil penjualan kayu tersebut diharapkan mampu mengurangi pengeluaran masyarakat. Sebenarnya, kayu dari bekas pohon yang tumbang akibat bencana puting beliung tersebut masih bisa dimanfaatkan. Namun sebelum memanfaatkannya, masyarakat harus melakukan ritual terlebih dahulu. Ritual tersebut sering disebut ruwatan yang memiliki makna pembersihan.
"Jadi kalau mau digunakan harus diruwat atau dibersihkan terlebih dahulu. Tujuannya agar aura negatifnya hilang," terang dia.
Kepercayaan tersebut sampai sekarang memang masih dipatuhi oleh masyarakat. Termasuk juga kepercayaan terjadinya bencana angin puting beliung tersebut karena sudah dua tahun ini masyarakat Kalurahan Mulusan tidak menyelenggarakan Rasulan (Bersih Desa) dengan pertunjukkan wayang.
Menurut tokoh spiritualis ini, Wayangan dengan lakon khusus harus digelar setahun sekali terutama pada saat acara bersih desa atau Rasulan. Gelaran wayang ini sebagai salah satu cara untuk menghindarkan masyarakat dari hal-hal yang negatif.
"Sejak pandemi kan kita tidak pernah menyelenggarakan rasulan dengan wayang. Makanya warga sini menganggap gara-gara itulah angin puting beliung melanda kawasan mereka," tambahnya.
Meskipun secara logika antara wayangan dengan bencana, namun masyarakat sering menghubungkan kedua hal tersebut. Sehingga kemungkinan besar tahun ini mereka akan menyelenggarakan ritual bersih desa dengan pertunjukkan wayang kulit.
Editor : Miftahudin
Artikel Terkait