Berdagang di Kereta
Menjadi anak yatim piatu membuat Lim menghidupi dirinya sendiri.
Agar bisa makan, ia menjajakan barang dagangan dan berjualan dari gerbong ke gerbong kereta api jurusan Jakarta-Surabaya. Ketika uangnya sudah mulai terkumpul, Lim membeli sebuah sepeda bekas sebagai transportasinya berdagang.
Menikah
Pada 1912, Lim Seeng Tee menikah dengan Siem Tjiang Nio dan menyewa sebuah warung kecil di Jalan Tjantian di kawasan kota tua, Surabaya.
Warung ini menjual aneka kebutuhan pokok, Lim juga menjual produk tembakaunya secara berkeliling menggunakan sepedanya di Surabaya.
Kemudian, ketika Lim beserta istrinya telah memiliki kehidupan yang berkecukupan, mereka akhirnya membeli sebuah gedung bekas yayasan panti asuhan.
Gedung seluas 1,5 hektar tersebut Lim gunakan sebagai tempat dan fasilitas untuk memproduksi rokok Sampoerna.
Sejak saat itu, kawasan ini dikenal dengan nama Pabrik Taman Sampoerna dan terus beroperasi hingga saat ini.
Di kompleks tersebut ada sebuah aula besar yang Lim jadikan sebagai bioskop pada 1932 hingga 1961.
Bahkan, artis Charlie Chaplin pun pernah menyambangi bioskop ini ketika ia mengunjungi Kota Surabaya.
Pada 1959, anak Lim dan Siem, yaitu Aga Sampoerna melanjutkan bisnis Sampoerna tersebut.
Saat itu, perseroan fokus memproduksi Sigaret Kretek Tangan (SKT) dengan meluncurkan sejumlah produk yang dikenal dengan Sampoerna Kretek.
Kemudian, generasi ketiga dari pendiri Sampoerna, yaitu Putera Sampoerna mengambil alih kepemimpinan Sampoerna pada 1978. Selanjutnya, pada 1989, perseroan pun mengeluarkan produk Sigaret Kretek Mesin (SKM).
Sampoerna Kini
PT HM Sampoerna Tbk, merupakan salah satu perusahaan rokok yang memiliki sejarah panjang di Indonesia.
Perusahaan ini berawal dari industri rumah tangga pada 1913 di Surabaya, Jawa Timur yang dibangun oleh Liem Seeng Tee.
Ia memulai usahanya dengan memproduksi dan menjual produk sigaret kretek tangan (SKT) di rumahnya di Surabaya, Jawa Timur.
Perseroan mulai mengembangkan struktur perusahaan modern dan menjalani periode investasi dan ekspansi.
Kemudian pada 1994, perseroan menerbitkan saham bonus, setiap pemegang dua saham lama menerima tiga saham baru.
Jumlah saham beredar setelah transaksi menjadi Rp450 juta. Perseroan kemudian mengubah nilai nominal saham dari Rp1.000 per saham menjadi Rp500 per saham pada 1996.
Kemudian pada 2001, Michael Sampoerna didapuk menjadi pemimpin Sampoerna yang merupakan generasi keempat.
Pada 2005, perusahaan rokok Philips Morris International Inc mengakuisisi saham PT HM Sampoerna Tbk atau sekitar 40 persen saham HM Sampoerna.
Nilai akuisisinya sekitar USD2 miliar.
Philips Morris membeli saham HM Sampoerna Rp10.600 per saham atau 20 persen di atas harga saham HM Sampoerna sebelum dibeli sekitar Rp8.850 per saham pada 10 Maret 2005.
Itulah perjalanan kisah Liem Seeng Tee yang tak terpisahkan dari pendirian rokok Sampoerna. Semoga informasi ini berguna bagi Anda dan menambah wawasan Anda.
Editor : Miftahudin
Artikel Terkait