Tegal, iNewsTegal.id – Di Pulau Jawa, ada empat gelar kebangsawanan yang masih bertahan dan dikenal hingga kini: Hamengku Buwono, Paku Alam, Paku Buwono, dan Mangkunegara. Keempatnya bukan sekadar nama, melainkan simbol sejarah panjang dari kejayaan Kesultanan Mataram Islam yang pernah berkuasa pada abad ke-16 hingga ke-18.
Warisan tersebut kini hidup dalam dua wilayah utama: Yogyakarta dan Surakarta (Solo). Masing-masing memiliki peran budaya dan sejarah yang berbeda, meski berakar dari kerajaan yang sama.
Asal-Usul: Mataram dan Perjanjian Giyanti
Kerajaan Mataram Islam yang didirikan oleh Panembahan Senopati di Kotagede, Yogyakarta, awalnya merupakan kerajaan besar yang menguasai sebagian besar Pulau Jawa. Namun, pada pertengahan abad ke-18, terjadi konflik internal antara keturunan raja yang melemahkan kerajaan.
Puncak perpecahan terjadi dengan Perjanjian Giyanti tahun 1755, yang dimediasi oleh pemerintah kolonial Belanda. Perjanjian ini secara resmi membagi Kerajaan Mataram menjadi dua bagian besar:
Kesultanan Yogyakarta, dipimpin oleh Pangeran Mangkubumi yang bergelar Sri Sultan Hamengku Buwono I.
Kasunanan Surakarta, dipimpin oleh Pakubuwono III sebagai penerus Mataram di timur.
Dari dua kerajaan besar ini, kemudian lahir dua kadipaten tambahan: Pakualaman di Yogyakarta dan Mangkunegaran di Surakarta.
Perbedaan Hamengku Buwono, Paku Alam, Paku Buwono, dan Mangkunegara
1. Hamengku Buwono – Sultan Yogyakarta
Gelar Hamengku Buwono berasal dari kata “hamengku” (memelihara atau memayungi) dan “buwono” (dunia atau alam). Secara harfiah berarti “pemelihara dunia”.
Didirikan oleh Sri Sultan Hamengku Buwono I setelah Perjanjian Giyanti, Kesultanan Yogyakarta menjadi simbol perlawanan terhadap dominasi kolonial sekaligus pusat kebudayaan Jawa.
Kini, gelar tersebut masih digunakan oleh raja Yogyakarta, yaitu Sri Sultan Hamengku Buwono X, yang juga menjabat sebagai Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Kekuasaan Sultan diakui secara konstitusional dalam sistem pemerintahan Indonesia, menjadikan Yogyakarta sebagai daerah istimewa dengan tata kelola unik.
2. Paku Alam – Adipati Pakualaman
Berbeda dari Kesultanan, Kadipaten Pakualaman lahir pada tahun 1813, di masa kekuasaan Inggris di Jawa. Ketika itu, Thomas Stamford Raffles memberikan legitimasi kepada Pangeran Notokusumo (saudara Sultan HB II) untuk memimpin wilayah tersendiri sebagai Paku Alam I.
Arti nama “Paku Alam” adalah “peneguh tatanan dunia”, sepadan dengan makna filosofis “penjaga keseimbangan”.
Meskipun berstatus kadipaten, Pakualaman memiliki wilayah dan struktur pemerintahan sendiri di bawah Kesultanan Yogyakarta.
Saat ini, Sri Paduka Paku Alam X menjabat sebagai Wakil Gubernur DIY, sesuai sistem pemerintahan istimewa yang telah diatur dalam Undang-Undang.
3. Paku Buwono – Raja Surakarta
Setelah terpecah dari Mataram, bagian timur kerajaan berkembang menjadi Kasunanan Surakarta Hadiningrat. Penguasanya memakai gelar Paku Buwono, yang bermakna “penyangga dunia”.
Raja pertamanya setelah perpecahan adalah Pakubuwono III, yang menandatangani Perjanjian Giyanti. Kasunanan Surakarta kemudian menjadi pusat budaya, kesenian, dan upacara tradisional Jawa seperti Bedhaya Ketawang dan Sekaten.
Meski kekuasaan politiknya telah berakhir sejak kemerdekaan Indonesia, keberadaan Kasunanan masih diakui sebagai penjaga warisan budaya Jawa. Kini, gelar tersebut dipegang oleh Sunan Pakubuwono XIII.
4. Mangkunegara – Pemimpin Kadipaten Mangkunegaran
Tidak lama setelah Perjanjian Giyanti, muncul tokoh karismatik bernama Raden Mas Said, yang menentang dominasi Kasunanan dan Belanda.
Untuk menghentikan konflik berkepanjangan, dibuat Perjanjian Salatiga tahun 1757, yang mengakui kekuasaan Raden Mas Said atas sebagian wilayah Surakarta. Ia kemudian bergelar Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya (KGPAA) Mangkunegara I.
Mangkunegaran memiliki status sebagai kadipaten otonom, bukan kerajaan penuh. Namun peranannya besar dalam menjaga seni dan militer Jawa.
Istana Mangkunegaran hingga kini masih aktif sebagai pusat budaya dan tempat upacara adat di Surakarta, di bawah kepemimpinan KGPAA Mangkunegara X.
Keempat gelar tersebut, Hamengku Buwono, Paku Alam, Paku Buwono, dan Mangkunegara menjadi simbol peradaban Jawa yang kaya filosofi dan sejarah.
Masing-masing mencerminkan nilai-nilai kepemimpinan, kebijaksanaan, dan tanggung jawab terhadap rakyat serta alam semesta.
Meski kerajaan-kerajaan tersebut kini tidak lagi memiliki kekuasaan politik mutlak, peran budayanya tetap hidup melalui tradisi, seni, dan tata nilai masyarakat Jawa.
Warisan Mataram bukan hanya catatan sejarah, tetapi juga identitas yang mengakar dalam kehidupan sosial dan spiritual masyarakat Jawa modern.
Editor : Rebecca
Artikel Terkait
