PYONGYANG, iNews.id - Tidak kuat dengan situasi di negaranya, Jennifer Kim seorang tentara wanita Korea Utara (Korut) melarikan diri dari negaranya dan dianggap sebagai pembelot. Ia menceritakan kisah pilunya saat dipaksa melakukan aborsi tanpa pembiusan. Selain itu kerap kali menghadapi pelecehan seksual dan kelaparan. Kim mengatakan bahwa para pejuang wanita di ketentaraan juga terpaksa menggunakan “kaus kaki” yang basah sebagai pembalut.
Berbicara tentang perlakuannya di negara komunis yang tertutup itu kepada Komite Hak Asasi Manusia di Korea Utara (HRNK), dia juga mengklaim bahwa dia dipaksa untuk mencelupkan tangannya ke dalam air dingin yang membuat tangannya membeku dan disuruh bergantung di batang besi sehingga kulit tangannya robek sebagai bentuk hukuman.
“Jika saya menolak permintaannya, saya tidak dapat menjadi anggota Partai Buruh Korea,” kenangnya. Dia menceritakan kala itu, seorang penasihat politik diduga melakukan pelecehan seksual ketika dia dipanggil ke kantornya pada usia 23 tahun.
“Jika saya kembali ke masyarakat tanpa bisa bergabung dengan partai, saya dianggap sebagai anak bermasalah dan saya akan distigmatisasi seumur hidup,” lanjutnya. “Itu berarti Anda tidak akan bisa mendapatkan pekerjaan yang baik dan itu akan menjadi masalah ketika Anda mencoba untuk menikah - apa yang bisa saya pilih?,” terangnya.
“Pada akhirnya, saya diserang secara seksual olehnya,” ujarnya.
Dia juga mengklaim bahwa dia dipaksa untuk bertahan hidup hanya dengan tiga hingga empat sendok jagung per hari, dan sangat kekurangan makanan sehingga siklus menstruasinya berubah menjadi menstruasi hanya sekali setiap empat hingga enam bulan. Namun, dia masih aktif secara seksual dan harus memberi tahu penasihat politik bahwa dia hamil.
Beberapa hari kemudian dia diperintahkan untuk pergi ke kantor medis militer suatu malam.
“Seorang ahli bedah militer sudah menunggu saya,” kenangnya.
“Dia melakukan aborsi pada saya tanpa anestesi - itu masih menghantui saya hingga hari ini,” ujarnya. “Karena pengalaman itu, saya tidak hanya masih berjuang secara mental, tetapi saya juga belum bisa punya anak,” ungkapnya.
“Jadi bahkan sekarang, sulit bagi saya untuk memiliki pernikahan yang baik,” ujarnya. “Rasa malu yang saya rasakan saat itu masih menghantui saya dan akan terus begitu,” terangnya.
Direktur Eksekutif HRNK Greg Scarlatoiu, mengecam kepemimpinan Korea Utara, mengklaim bahwa perlakuan buruk terhadap perempuan sudah terjadi sampai ke puncak pimpinan Korut.
“Pelecehan yang diderita putri-putri bangsa berseragam di tangan antek-antek rezim mencerminkan penyimpangan dan korupsi partai yang tertanam dalam dan tak tersembuhkan,” terangnya.
"Itu ada di seluruh kepemimpinan puncak, sampai ke puncak rantai komando,” lanjutnya. Diketahui, semua wanita di Korut menghadapi tugas wajib militer sejak mereka lulus sekolah hingga mereka berusia 23 tahun. Layanan tentara paksa untuk wanita telah disahkan menjadi undang-undang pada 2015.
Editor : Miftahudin