JAKARTA, iNews.id - Tragedi berdarah pernah terjadi di daerah operasi TNI gara-gara ulah seorang perwira yang membawa anak kepala suku dan menjadikannya gundik. Akibatnya, rakyat kampung tersebut menyerang pos TNI hingga seluruh pasukan tewas. Kejadian ini diceritakan Prabowo Subianto yang saat ini menjabat Menteri Pertahanan.
Peristiwa tersebut cukup menggegerkan TNI pada saat itu karena dialami pasukan yang cukup terkenal. Namun, Prabowo tidak menyebutkan nama pasukannya.
"Hal ini terjadi di daerah operasi. Terjadi kepada suatu pasukan yang dipimpin oleh seorang lulusan Akademi Militer. Ia bertugas di pasukan yang cukup terkenal (tidak saya sebut pasukan mana)," kata Prabowo Subianto, dikutip iNews.id dari bukunya "Kepemimpinan Militer Catatan dari Pengalaman Letnan Jenderal TNI (Purn) Prabowo Subianto, Kamis (17/2/2022).
Peristiwa ini berawal saat prajurit TNI mendapat tugas pengamanan di sebuah bukit, di luar suatu desa. Perwira itu kemudian memerintahkan pasukannya untuk membuat suatu pos pertahanan. Sebab, mereka berada di pos tersebut untuk beberapa minggu.
Selama di sana, lulusan Akmil itu ternyata memperhatikan anak kepala desa setempat yang juga kepala suku. Kecantikan perempuan itu membuatnya tertarik. Dia lalu mendekatinya, bahkan membawanya hingga beberapa minggu. "Ternyata letnan ini memperhatikan bahwa anak kepala desa yang juga merupakan kepala suku di daerah tersebut, mungkin menurut letnan tersebut menarik atau cantik.
Kemudian, anak kepala suku ini diambil dan dibawa dan menjadi 'gundiknya' selama beberapa minggu," tulis Prabowo.
Waktu berlalu, masa tugas pasukan di daerah operasi segera berakhir. Pasukan sudah bersiap-siap pulang. Rakyat di kampung tersebut rupanya mengetahui perbuatan si pemimpin pasukan terhadap anak kepala suku. Mereka kemudian menyergap dan menyerang pos. Seluruh pasukan gugur.
"Ternyata, tinggal beberapa hari sebelum pasukan tersebut akan pulang dari daerah operasi, rakyat kampung tersebut secara senyap melakukan penyergapan terhadap pos tersebut dan seluruh pasukan mati. Ini peristiwa yang cukup menggegerkan TNI pada saat itu," kata Prabowo.
Dari kejadian itu, Prabowo menyebutkan ada pelajaran yang harus dipetik. Pertama, letnan tersebut melanggar kaidah-kaidah yang diajarkan di TNI. Sebagai seorang prajurit TNI, seharusnya dia membela kepentingan rakyat.
"TNI adalah tentara rakyat. Masa TNI mengambil anak kepala suku dan memperlakukannya sebagai 'gundik', dan diketahui oleh seluruh suku tersebut," katanya. Tragedi berdarah itu dipastikan karena suku asal si perempuan yang dijadikan sebagai gundik merasa sakit hati dan dendam.
Termasuk juga perempuan yang dijadikan gundiknya. Sikap arogan sang perwira kemudian mengakibatkan bencana bagi anak buahnya. "Rasa sakit hati, rasa dendam pasti yang terjadi. Sikap arogan yang disebut 'adidang, adigung, adiguna' ini justru yang mengakibatkan bencana bagi anak buahnya," katanya.
Terungkap pula, selama operasi dan membawa anak kepala suku bersamanya, perwira itu tidak melakukan pengamanan untuk mengantisipasi kejadian yang tak diinginkan. Si anak kepala suku bebas masuk keluar camp.
"Pasti anak kepala suku itu dapat menceritakan pada orang tuanya di mana letak pertahanan-pertahanan pasukan. Jalan masuk paling baik lewat mana. Jam berapa yang paling lengah, dan sebagainya," kata Prabowo.
Menurut Prabowo, perbuatan pemimpin pasukan di daerah operasi TNI itu contoh kekeliruan leadership lapangan yang sangat fatal, yang membawa akibat sangat fatal. Prabowo pun berpesan kepada siapa saja yang ingin menjadi pemimpin lapangan yang baik belajar dari kejadian tersebut.
Itu salah satu contoh pemimpin yang tidak benar, pribadi-pribadi yang tidak benar sebagaoi pemimpin. Dia juga menyebutkan contoh lainnya, para perwira dan komandan-komandan yang tidak perlu dicontoh. "Saudara-saudara, terutama mereka-mereka yang ingin menjadi pemimpin lapangan yang baik, saya ceritakan cerita-cerita ini bukan untuk menjelekkan orang.
Saya menceritakan ini untuk memberitahu kepada saudara-saudara sekalian agar saudara-saudara hindari dan tidak melakukan hal-hal seperti ini," katanya.
Editor : Miftahudin