Saat mulai kesurupan para penari tiba-tiba jatuh dan kaku saat diberdirikan tubuhnya, semakin cepat tempo gamelan para penari pun semakin lincah melakukan atraksi.
"Kesenian kuda lumping ini menjadi hiburan tersendiri bagi kami warga di Desa Dukuytengah yang masih berada di kaki Gunung Slamet," ujar pawang kuda lumping, Sudarso, beberapa hari lalu.
Menurut Sudarso, sejak merebaknya pandemi Covid-19, nyaris tidak ada pertunjukan seni. Kelompok kesenian janturan hanya mengandalkan saweran dari penonton setiap pementasan.
"Agar tidak punah, kami melatih sejumlah remaja untuk bisa menjadi penari janturan. Perlu waktu dua bulan untuk melatih para penari," terang Sudarso.
Meski ditengah pandemi Covid-19, Sudarso mengaku masih bisa bertahan. Mereka kini hanya bisa melakukan pementasan bekerja sama sejumlah obyek wisata yang ramai pengunjung.
"Sekali pementasan kami dibayar Rp1,5 hingga Rp2 juta," aku Sudarso.
Editor : Miftahudin
Artikel Terkait