TEGAL, iNews.id - Kesenian tradisional janturan atau kuda lumping hingga kini masih bertahan di tengah pandemi Covid- 19. Atraksi budaya yang mengandung magis tersebut menjadi hiburan tersendiri bagi warga di kaki Gunung Slamet, Kabupaten Tegal, Jawa Tengah.
Kesenian tradisional janturan atau lebih dikenal kuda lumping sangat berkaitan erat dengan hal-hal yang berbau supranatural. Atraksi penari janturan bahkan selalu ditunggu penonton saat para penari mulai kerasukan.
Seperti yang dilakukan sekelompok penari janturan asal Desa Dukutengah, Kecamatan Bojong, Kabupaten Tegal. Tarian itu menggunakankuda yang terbuat dari anyaman bambu atau kulit sapi dengan dihiasi rambut tiruan yang di gelung atau di kepang. Untuk membuat para penari kesurupan, sang pawang menyiapkan sesaji.
Kesenian kuda lumping menyuguhkan atraksi kesurupan, kekebalan dan kekuatan magis. Seperti memakan umbi-umbian mentah, batang tebu hingga kekebalan tubuh terhadap sabetan cambuk.
Saat mulai kesurupan para penari tiba-tiba jatuh dan kaku saat diberdirikan tubuhnya, semakin cepat tempo gamelan para penari pun semakin lincah melakukan atraksi.
"Kesenian kuda lumping ini menjadi hiburan tersendiri bagi kami warga di Desa Dukuytengah yang masih berada di kaki Gunung Slamet," ujar pawang kuda lumping, Sudarso, beberapa hari lalu.
Menurut Sudarso, sejak merebaknya pandemi Covid-19, nyaris tidak ada pertunjukan seni. Kelompok kesenian janturan hanya mengandalkan saweran dari penonton setiap pementasan.
"Agar tidak punah, kami melatih sejumlah remaja untuk bisa menjadi penari janturan. Perlu waktu dua bulan untuk melatih para penari," terang Sudarso.
Meski ditengah pandemi Covid-19, Sudarso mengaku masih bisa bertahan. Mereka kini hanya bisa melakukan pementasan bekerja sama sejumlah obyek wisata yang ramai pengunjung.
"Sekali pementasan kami dibayar Rp1,5 hingga Rp2 juta," aku Sudarso.
Editor : Miftahudin
Artikel Terkait