Perbedaan Hamengku Buwono, Paku Alam, Paku Buwono, dan Mangkunegara
Setelah terpecah dari Mataram, bagian timur kerajaan berkembang menjadi Kasunanan Surakarta Hadiningrat. Penguasanya memakai gelar Paku Buwono, yang bermakna “penyangga dunia”.
Raja pertamanya setelah perpecahan adalah Pakubuwono III, yang menandatangani Perjanjian Giyanti. Kasunanan Surakarta kemudian menjadi pusat budaya, kesenian, dan upacara tradisional Jawa seperti Bedhaya Ketawang dan Sekaten.
Meski kekuasaan politiknya telah berakhir sejak kemerdekaan Indonesia, keberadaan Kasunanan masih diakui sebagai penjaga warisan budaya Jawa. Kini, gelar tersebut dipegang oleh Sunan Pakubuwono XIII.
Tidak lama setelah Perjanjian Giyanti, muncul tokoh karismatik bernama Raden Mas Said, yang menentang dominasi Kasunanan dan Belanda.
Untuk menghentikan konflik berkepanjangan, dibuat Perjanjian Salatiga tahun 1757, yang mengakui kekuasaan Raden Mas Said atas sebagian wilayah Surakarta. Ia kemudian bergelar Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya (KGPAA) Mangkunegara I.
Mangkunegaran memiliki status sebagai kadipaten otonom, bukan kerajaan penuh. Namun peranannya besar dalam menjaga seni dan militer Jawa.
Istana Mangkunegaran hingga kini masih aktif sebagai pusat budaya dan tempat upacara adat di Surakarta, di bawah kepemimpinan KGPAA Mangkunegara X.
Keempat gelar tersebut, Hamengku Buwono, Paku Alam, Paku Buwono, dan Mangkunegara menjadi simbol peradaban Jawa yang kaya filosofi dan sejarah.
Masing-masing mencerminkan nilai-nilai kepemimpinan, kebijaksanaan, dan tanggung jawab terhadap rakyat serta alam semesta.
Meski kerajaan-kerajaan tersebut kini tidak lagi memiliki kekuasaan politik mutlak, peran budayanya tetap hidup melalui tradisi, seni, dan tata nilai masyarakat Jawa.
Warisan Mataram bukan hanya catatan sejarah, tetapi juga identitas yang mengakar dalam kehidupan sosial dan spiritual masyarakat Jawa modern.
Editor : Rebecca