BREBES, iNews.id - Keberadaan komunitas adat Jalawastu di Kabupaten Brebes sampai detik ini masih menjadi daya tarik wisatawan karena keunikannya. Wisatawan dari luar daerah bahkan berdatangan untuk mengenal lebih dekat komunitas adat yang memegang erat budaya Sunda tersebut.
Bahkan, Jalawastu menjadi daya tarik tersendiri bagi para akademisi sebagai bahan kajian. Dengan segala kearifan lokalnya, serpihan tanah Pasundan yang masuk wilayah teritorial Kabupaten Brebes ini masih menjaga keyakinan spiritual yang dianut para leluhur.
Masyarakat adat Jalawastu mengklaim identitas dirinya sebagai sisa dari ajaran Sunda Wiwitan yang masih bertahan. Sampai detik ini, mereka masih mempertahankan beberapa tradisi sebagai salah satu penguatan identitas sebagai pewaris kebudayaan Sunda.
Kampung adat Jalawastu yang berada di Desa Cisereuh Kecamatan Ketanggungan ini masih mempertahankan ritual warisan leluhur. Salah satunya, upacara Ngasa yang identik dengan apresiasi masyarakat Jalawastu terhadap kosmologi alam mereka yang hidup di kaki gunung Kumbang. Ritual tahunan ini merupakan warisan dari para leluhur Jalawastu.
Bukan hanya ritual Ngasa yang menjadi pengakuan identitas mereka. Ritus dan spiritual Tutulak Bala, Babarit, dan Cako juga menjadi penguatan identitas mereka sebagai pewaris kebudayaan Sunda. Setiap tahun, mereka menggelar ritual budaya tersebut. Saat Pandemi Covid-19 ini, belum lama ini juga mereka menggelar Tutulak Bala, sebagai penolakan nasib buruk akibat virus corona.
"Bagi masyarakat Jalawastu, upacara Ngasa atau sedekah gunung tidak sekadar ritual tahunan yang mengingatkan pada keyakinan purba mereka pada leluhur Batara Windu Sakti Buwana, tapi upaya terakhir mereka yang masih tersisa dalam menegaskan identitas serta eksistensi sebagai masyarakat," kata Sejarawan Brebes, Wijanarto, Jumat (17/12/2021).
Dalam jejak Ngasa, masyarakat Jalawastu mengeksplorasi jejak kesejarahan mereka yang diwariskan melalui memori ingatan. Memori ingatan merupakan pewarisan historiografi tradisional yang tersimpan dalam cerita foklore. Kebanyakan folklore Jalawastu termasuk folklore lisan.
Dari sejarah lisan, lanjut Wijanarto, masyarakat Jalawastu mengklaim sebagai bagian dari Sunda Wiwitan. Selain itu mereka menganggap saudara dengan komunitas adat Baduy di Banten.
Dari klaim sejarah tutur, lanjut Wijanarto, masyarakat Jalawastu mengalami peluruhan identitas dan adapasi identitas. Bagaimana pengaruh Hinduisme diadopsi hingga kemudian munculnya pengaruh Islam.
Dalam perspektif historis banyak dijumpai bagaimana proses akomodatif dan konfrontatif mengemuka saat pengaruh unsur baru dalam kebudayaan suatu masyarakat.
"Masyarakat Jalawastu mengalami akulturasi dari Hindu Budha ke Islam. Namun sisa-sisa Hindu Budha melalui Sunda Wiwitan masih mempengaruhi terhadap sisi sosial dan budaya. Akulturasi agama ini terjadi pada abad 16 berkaitan dengan Kesultanan Cirebon melalui Sunan Gunung Jati dan Sunan Kalijaga," tambahnya.
Upacara tradisi Ngasa menjadi upaya personifikasi komunitas Jalawastu sebagai kelompok yang melestarikan jejak peninggalan Hinduisme yang bercampur dengan tradisi Islam. Ngasa juga menjadi upaya kompromi dan adopsi komunitas Jalawastu dengan budaya lainnya. Seperti Islam dan budaya Sunda.
"Melalui pewarisan sejarah tutur masyarakat Jalawastu yang berbentuk dalam cerita folklore, tanpa disadari mereka merekonstruksi masa lalu walaupun berbau magis. Apa yang bisa dipetik melalui sosok Batara Windu Sakti Buana serta penghormatan terhadap ekologi di sekitar mereka tampaknya merefleksikan semangat melakukan konservasi lingkungan," pungkasnya.
Sebagai salah satu pedukuhan di Desa Ciseureuh, Dukuh Jalawastu tergolong berpenduduk 242 jiwa dari 120 keluarga. Dari pusat pemerintahan, jarak Brebes menuju Jalawastu kurang lebih 50 km dengan waktu tempuh menggunakan kendaraan roda 4 mencapai 2,5 jam. Akses satu-satunya dari desa Ciseurueh menuju Jalawastu melewati jalan curam, berbatu.
Editor : Miftahudin