JAKARTA, iNews.id - Siapa yang menyangka jika seorang marbot bisa mengumpulkan uang yang tak sedikit demi bisa naik haji. Tak tanggung-tanggung, sang sang marbot pun mengajak istrinya ikut naik haji berdua.
Kisah keberangkatan haji seseorang bisa begitu menarik dan menginspirasi banyak orang. Termasuk kisah yang diceritakan seorang marbot Masjid Jami Al-Hilal, Pulogadung, Jakarta Timur.
Marbot bernama Waridjun (77) dan istrinya Sopiah (70) diketahui telah menjalani kehidupan dengan penuh warna. Waridjun datang dari Indramayu, tepatnya di kecamatan Haurgeulis bersama istrinya. Saat masih menjadi pengantin muda, Waridjun mengaku pernah bekerja sebagai tukang becak di kampungnya.
Namun karena alasan penat, dia mengajak istrinya mengubah nasib dengan pindah ke Jakarta. Pada 1968, dia dan istri memberanikan diri pindah dan tinggal sementara di Cipinang, Jakarta Timur. Dia tinggal di sana selama dua tahun sambil bekerja menarik becak.
Saat ini keduanya menempati sebuah rumah di Jalan Balap Sepeda 4 nomor 20 RT 004/06, Rawamangun, Pulogadung, Jakarta Timur. Dia mengatakan baru pindah ke Rawamangun sekitar 1970. Disini, dia mengaku pernah menjadi ojek motor sebelum dirinya membuka jasa tambal ban di depan rumahnya. Ia mengungkapkan pada 1973, sepeda motor baru pertama kali populer dimanfaatkan sebagai ojek.
"Saya narik ojek untuk antarpenumpang dari pelabuhan Tanjung Priok saat itu, ikut juragan saya orang Tionghoa. Tetapi saya berhenti ojek motor sampai tahun 1976 karena fisik tidak kuat, sakit-sakitan. Saat itu usia saya baru masuk pertengahan kepala tiga kalau tidak salah," terangnya kepada MNC Portal, Rabu (15/6/2022).
Dia pun memutuskan untuk kembali menarik becak karena kebetulan sudah memiliki becaknya. Karena mengalami peningkatan ekonomi dari sebelumnya, Waridjun mengaku mulai pindah rumah dari Kayu Jati, Rawamangun ke kediamannya hingga sekarang di Jalan Balap Sepeda 4. "Saya pindah ke rumah ini sekitar tahun 1980, karena sudah pindah, saya sempat buka usaha pakan burung kecil-kecilan sembari jual burung piaraan. Tetapi karena ngantuk saat jaga tokonya, saya jenuh juga," uujarnya.
Karena kejenuhannya menjaga lapak usaha pakan burung, dia pun berpikir untuk berganti usaha menjadi tukang tambal ban. Dia mengaku lantaran keahliannya mengurus tambal ban saat menarik becak di Indramayu, terbesit olehnya untuk membuka usaha tambal ban karena banyaknya permintaan warga yang butuh tambal ban saat melintas usaha pakan burungnya.
"Saya ahli ganti dan tambal ban ketika dulu masih muda di Indramayu, daripada ngantuk-ngantuk jaga usaha pakan burung, saya mending buka tambal ban. Apalagi banyak orang nanya tukang tambal ban di seberang lokasi rumah saya," lanjutnya.
Disitulah Waridjun mengaku lama membuka usaha tambal bannya hingga t1992. Istri Waridjun menambahkan, suaminya berhenti karena sempat mengalami sakit hernia. "Bapak sempat sakit hernia sehingga berhenti sebentar usaha tambal bannya karena harus operasi. Tetapi bapak belum kapok karena masih layanin pelanggan untuk tambal ban karena datang langsung ke rumah. Tetapi baru stop total lantaran bapak kena sakit jantung juga di tahun 1993," terang Sopiah.
Akan tetapi, meski sudah sakit jantung, Waridjun tetap membuka usaha tambal ban namun dikerjakan oleh anak-anaknya. Pria beranak lima ini menjelaskan usahanya dikerjakan oleh dua putranya ketika libur sekolah dan dibantu putrinya yang lain.
"Anak saya yang laki-laki kalau lagi libur atau pulang sekolah yaa ikut bantuin. Bapak tinggal mengarahkan saja karena sudah ga kuat tangannya untuk angkat berat," lanjutnya.
Ketika hendak mendekati azan Asar, Waridjun menyampaikan izin kepada MNC Portal untuk mempersiapkan salat Asar berjamaah di masjid dekat rumahnya, Masjid Jami Al-Hilal. Sebelum beranjak, Sopiah dan anaknya, Atun, mengungkapkan keinginan Waridjun yang tetap ingin beramal dengan tenaganya.
"Bapak saya sudah jadi marbot masjid sekitar tahun 1982, itu saat saya mau masuk TK. Kami baru tinggal di rumah ini sekitar dua tahun," kata Atun.
Saat ditegaskan mengapa dirinya ingin menjadi marbot Masjid, Waridjun dengan singkat menjawab hanya ingin memenuhi panggilan hatinya dan ibadah. Putrinya menyambar dengan segera bahwa ayahnya hanya ingin beramal dengan apa saja yang dimilikinya.
"Bapak saya itu prinsipnya jika tidak bisa beramal dengan harta, maka amal dengan tenaga. Hanya itu yang dipikirkan bapak saya," sergah Atun menimpali ayahnya yang terbata-bata menjelaskan.
Sopiah pun menambahkan, suaminya bekerja sebagai marbot dengan ikhlas tanpa bayaran. Ia pun menceritakan suaminya iba melihat marbot yang menjaga masjid di dekat rumahnya karena sudah sepuh. "Suami saya selain ibadah hanya ingin membantu marbot yang sudah tua. Itu pun tidak digaji, benar-benar panggilan hatinya," kata Sopiah.
Waridjun pun menjelaskan tugasnya sebagai marbot dilakukan sedari dahulu hanya difokuskan pada mempersiapkan waktu shalat fardhu jamaah. Dirinya pun kini masih aktif menjadi marbot lantaran teman-temannya yang membantu mengurus masjid satu persatu sudah wafat.
"Sampai sekarang yaa aktivitas saya sambilan mengurus masjid mempersiapkan waktu jamaah shalat fardhu lima waktu. Dulu bisa sekalian jadi muadzin dan iqomat, kadang juga menjadi imam shalat, yaa ibadah saja," jelas Waridjun.
Sopiah menjelaskan itikad kuatnya ingin berangkat ibadah ke tanah suci di Mekkah. "Niat kami kuat, terutama saya. Sebenarnya saya dulu yang kepingin berangkat haji. Dulu saya sudah nabung sedari tahun 1970, saya cicil penghasilan bapak dengan menukarnya menjadi emas kecil, dari dua gram seperti gelang, cincin serta kalung," kata Sopiah.
Sopiah menyicil tabungannya dengan emas dua gram itu sejak memiliki anak pertama. Dia mengaku tidak mampu menabung di bank sebab tidak bisa membubuhkan tanda tangan untuk membuka tabungan dengan baik. "Dari tabungan emas dua gram itu baru bisa dijual menjadi biaya haji di tahun 2004. Emas saya dimasukkan ke kantong kresek dan dibungkus sapu tangan kemudian dijual ke toko emas Sakura di Pasar Pagi, Rawamangun," kata Sopiah.
Dengan hasil menjual emas tabungannya, Sopiah dan Waridjun dapat berangkat haji bersama pada 2007. Kendati demikian, Sopiah menjelaskan cita-citanya ingin naik haji sejak kecil karena pesan mendiang neneknya. "Dulu saya dipesankan oleh nenek saya untuk membaca surat Al-Ikhlas 2000 kali selepas shalat maghrib. Saya disuruh menghitung bacaannya dengan daun tiap sepuluh kali, jadi 10 daun itu seratus lah kiranya," ujarnya.
Amalan membaca Al-Ikhlas ini dipesankan mendiang neneknya untuk mengetahui arah Padang Mahsyar (hari pertimbangan amal perbuatan). Namun Sopiah mengaku amalan itu juga diniatkan untuk mewujudkan ibadah ke tanah suci. "Meski ekonomi kami itu pendapatannya seperti puasa senin-kamis, selang seling dan jatuh bangun tapi Alhamdulillah kami bersyukur bisa ibadah haji meski dengan kondisi ekonomi pas-pasan," ucap Sopiah.
Sedangkan Waridjun menambahkan, dirinya hanya mengamalkan potongan surat Al-Hajj ayat 27 karena pesan seorang Kiai yang ditemuinya di Masjid tempat dia bertugas sebagai marbot.
"Saya dulu dipesankan oleh salah seorang Kiai untuk mengamalkan bacaan surat Al-Hajj ayat 27. Katanya kalau ingin buru-buru berangkat haji, amalin ayat tersebut tiap selesai shalat, Wa azzin fin naasi bil Hajji yaatuuka rijaalanw wa 'alaa kulli daamiriny yaatiina min kulli fajjin 'amiiq," katanya dengan lancar menlafalkan ayat tersebut.
Terkait keberangkatan hajinya di tahun 2007, Waridjun dan Sopiah sempat dianggap menggunakan uang kas Masjid lantaran keaktifannya mengurus masjid. Namun kedua pasangan suami istri itu kompak tidak menggubris desas-desus tidak baik kepada mereka.
"Kami bahkan sempat dicurigai berangkat haji karena menggunakan uang kas masjid, tetapi buat apa menanggapi gosip yang tidak baik tersebut. Kami sudah tua saat itu, hanya menghabiskan energi saja. Toh palingan bisa jawab Innalillahi waa inna ilaihi roji'un," ujar Sopiah.
Sembari momong cucu kembar laki-lakinya, Sopiah pun menuturkan kejujuran dalam kehidupan menjadi hal yang penting. Pasangan kakek-nenek dengan 10 cucu tersebut kini bersyukur dapat menjalankan kehidupannya meski dengan banyak keterbatasan.
"Kejujuran itu penting, karena kepercayaan orang itu mahal. Meski kadang sudah jujur, kita pun masih dicurigai sama orang lain. Tapi itu pesan saya untuk anak-anak dan cucu saya," ujarnya.
Sopiah menjelaskan cerita orang di sekitar lingkungannya untuk tidak dipikirkan. Desas-desus itu terus didengungkan antar warga hingga ke keluarganya. "Meski sampai omongannya, saya dan bapak yang penting saat itu fokus untuk berangkat haji saja. Biarkan saja, istighfar banyak-banyak. Itu mungkin salah satu ujian dari Allah SWT juga," ujarnya.
Editor : Miftahudin
Artikel Terkait