"Saya mengambil kotoran, membentuk, dan membiarkannya kering agar mudah menyerap darah," kata nenek Constance, Vhene.
Untuk menghindari efek buruk, lanjut Vhene, kotoran sapi itu tidak langsung ditempelkan begitu saja ke vagina melainkan dibungkus dengan pakaian terlebih dulu. Kemudian kotoran sapi diletakkan di celana dalam seperti menggunakan pembalut.
"Para perempuan mengalami aliran deras pada siklus yang biasanya berlangsung 6 hari. Kami lebih suka cara ini karena kotoran sapi bisa menyerap banyak darah," ujarnya.
Setelah digunakan, kotoran sapi dibuang dengan cara dikubur di tanah.
"Pembalut adalah barang mewah yang tidak bisa saya beli untuk cucu-cucu perempuan saya," tuturnya, lagi.
Data Kementerian Urusan Perempuan dan Kepemudaan Zimbabwe mengungkap, 67 persen anak perempuan terpaksa bolos sekolah selama datang bulan karena tidak bisa mengakses produk higienis dan fasilitas sanitasi bersih. Bahkan tak sedikit dari mereka yang putus sekolah sama sekali, seperti dialami Constance.
Pakar kesehatan memperingatkan, jika tak menggunakan produk higienis, kuman seperti salmonella dan E Coli sangat mungkin berkembang biak, menyebabkan infeksi pada daerah kewanitaan.
"Para perempuan itu mengeluh gatal dan ada sensasi terbakar di vagina. Saat diperiksa di rumah sakit, kami melihat adanya infeksi jamur, infeksi saluran urogenital, dan tanda-tanda awal kanker rahim karena penyisipan di saluran vagina," kata Theresa Nkhoma, seorang aktivis Komunitas Pengasuhan Anak yang berada di bawah Kementerian Pelayanan Umum Tenaga Kerja dan Kesejahteraan Sosial.
Editor : Miftahudin
Artikel Terkait