Sejauh ini, mesin pembuat pupuk organik tersebut mampu menghasilan sekitar satu ton dalam sebulan. "Hasil pembuatan kompos tidak dijual belikan tapi diberikan ke petani secara gratis dalam rangka membantu mengurangi kebutuhan pupuk," ujarnya.
Keberhasilan dalam mengelola pupuk berbahan sampah organik dari warga itu, kemudian dikembangkan menjadi eduwisata sawah. Selain bisa belajar mengelola pertanian dengan pupuk organik, pengunjung juga bisa menikmati kuliner khas desa dan berswafoto.
"Sekarang saya mengembangkan menjadi wisata ekdukasi sawah kita namakan Gatra Kencana. Beberapa daerah datang ke sini untuk studi banding seperti Brebes, Tegal, Pekalongan dan Demak. Sejak dibuka Desember lalu, kini sudah mampu memberi pemasukan Rp 500 juta," jelasnya.
Ditambahkannya, saat proses pendampingan Pemprov Jawa Tengah juga memberikan bantuan pembangunan RTLJ bagi tiga warga. "Iya, ada tiga rumah warga yang mendapat bantuan renovasi," imbuhnya.
Sementara, Carmo, seorang petani Desa Bojongnangka mengaku senang bahwa desanya telah mampu memproduksi pupuk organik sendiri.
"Iya senang, karena kalau mau menanam tinggal minta ke Pak Lurah, dan ambil sendiri," katanya. Pupuk organik tersebut, disampaikannya, kualitasnya bagus buat tanaman.
"Kalau ditabur itu bisa merata. Hasilnya bagus. Saya punya satu hektare sawah, ditanami padi dan jagung," ujar dia.
Dari data yang ada, sudah sebanyak 172 desa di Jawa Tengah mendapat pendampingan sejak 2019. Setidaknya ada 48 OPD yang terlibat dalam program tersebut. Mulai dari pemberdayaan, RTLH, jambanisasi, dan lainnya.
Editor : Miftahudin
Artikel Terkait