JAKARTA, iNews.id - Sonaun (57) jamaah haji asal Kabupaten Pati ini bosa berbangga diri, lantaran dirinya manjadi salah calon jamaah haji yang bisa berangkat setelah pandemi.
Sonaunm yang bekerja sebagai petani merupakan warga Desa Brati, Kecamatan Kayen, Kabupaten Pati, Jawa Tengah lahir pada 10 Juni 1965, dari pasangan almarhum Ngasiyo-Fatimah.
"Saya bersyukur sekali bisa naik haji. Waktu masih muda ya tidak terpikir. Wong saya ini sembahyang (salat) lima waktu saja baru mulai umur 25 tahun." kata Sonaun dikutip MPI dalam laman resmi Kemenag, Rabu (8/6/2022).
Sonaun masuk Embarkasi Solo pada 3 Juni 2022. Dia tergabung dengan kloter 1 Embarkasi Solo (SOC 1) yang berangkat 4 Juni, pukul 00.30 WIB. Pesawat Garuda yang mengantarnya mendarat di Bandara Amir Mohammad bin Abdul Aziz (AMAA), Madinah, pada hari yang sama, sekitar pukul 08.58 waktu Arab Saudi (WAS).
Sonaun sendiri berasal dari Desa Brati, Kecamatan Kayen, Kabupaten Pati, Jawa Tengah. Dia jemaah haji satu-satunya dari Desa Brati. Sonaun terbilang petani yang istimewa, karena memiliki sawah satu hektare. Selain itu, istri Sonaun, bernama Kusriwati (47 tahun) bekerja di toko kelontong miliknya. Namun, ikhtiarnya mampu mengantarkan Sonaun berangkat ke tanah suci.
"Hasil tani saya ditabung. Kebutuhan hidup sehari-hari dari istri yang pedagang kelontong," terang bapak tiga anak dan dua cucu ini.
Sonaun bercerita, dirinya mendaftar haji tahun 2011 dengan total setoran untuk suami-istri sebesar 50 juta.
"Beruntung sekali istri saya itu jualan, jadi saya bisa nabung," ujarnya. Pembayaran haji dilunasi pada tahun 2020 sebelum adanya kebijakan untuk membatalkan keberangkatan dikarenakan pandemi Covid-19 mengguncang Tanah Air. Suami istri membayar masing-masing 11. 250.000 rupiah. Biaya haji total Rp36,3 juta.
Untuk ukuran petani di Kecamatan Kayen, Sonaun tidak masuk golongan petani kecil, karena dia menggarap lahan seluas 5 hektare. Sonaun menanami lahannya dengan padi dan jagung.
"Pernah menanam bawang tapi gagal, harganya anjlok. Setelah itu, saya tanami padi dan jagung terus," katanya.
Sonaun termasuk petani yang beruntung, karena 1 hektar sawah dari 5 hektar yang digarap punya sendiri.
"Yang setengah hektar warisan orang tua, setengahnya lagi saya beli sendiri, dari jual sapi pejantan tiga ekor, gemuk-gemuk. Awal tahuan 1990an, saya jual 2 juta dan hasilnya dibelikan sawah setengah hektar," ungkapnya.
Sonaun saat masa anak-anak adalah seorang penggembala. Menginjak remaja, Sonaun mulai membantu ayahnya di sawah.
"Yang bantu bapak di sawah cuma saya, karena kakak saya perempuan, sementara empat adik saya masih kecil." terangnya.
Sonaun mengaku penghasilannya dari dunia pertanian selama setahun sekitar Rp250 juta: keuntungan Rp100 juta, biaya produksinya Rp150 juta.
"Penghasilan saya Rp250 juta setahun itu rata-rata ya, jika sedang panen bagus dan harganya bagus," katanya. I
khtiar Sonaun di bidang pertanian tidak cuma menghantarkannya ke tanah suci menunaikan rukun Islam kelima, tapi juga berhasil membuat anak-anaknya mengenyam pendidikan lebih baik darinya yang cuma lulusan SD, begitu juga istri, cuma lulusan SD. Selain sekolah, anak-anaknya juga mendapatkan pendidikan agama di pesantren.
Anak pertamanya (Siti Mutmainnah) dan anak keduanya (Muhammad Yusuf) alumni Pesantren An-Nur Mojolawaran, Gabus, Pati. Pesantren ini didirikan oleh KH Nur Kholis. Anak terakhirnya, Abdul Hidayat, masih nyantri di Pesantren Al-Kholil, Pasuruan, Kayen, Pati.
"Awalnya di Kudus, tapi musim korona saya pindah yang dekat rumah saja," katanya.
Sebetulnya, yang memberi penjelasan lengkap anaknya nyantri di mana dan kiainya siapa bukan Sonaun, tetapi teman-teman sekamarnya di pemondokan Madinah. Sonaun sendiri antara ingat dan lupa atau karena tidak akrab dengan nama-nama pesantren. Untung saja, empat temannya mengerti pesantren yang dimaksud Sonaun. Empat temannya bernama Mat Sholeh (56 tahun), Arip Suparjo (54 tahun), Sudarmin (61 tahun), dan Sagiman (61 tahun). Kecuali Sagimin yang sedang istirahat, obrolan di kamar pemondokan dengan Sonaun berjalan gayeng dan akrab. Mereka saling menimpali dengan santai.
"Saya tidak bisa merokok di dalam," kata salah satu dari mereka disambut tawa.
Meminjam istilah Clifford Geertz, Sonaun sekarang telah menjadi santri seutuhnya, yakni telah melaksanakan lima rukun Islam. Yang dulu tidak sembayang, sekarang sembayang, yang dulu tidak puasa, sudah puasa. Bahkan saat jelang umur 50 aktif di pengajian Yasinan dan Tahlilan.
"Saya menyesal tidak bisa mengaji. Sampai sekarang saya harus mikir jika ditanya batalnya wudu apa saja. Tapi Alhamdulillah anak saya mengerti agama tingkat dasar, bahkan Siti Mutmainnah ngajar di TPQ, suaminya guru di pesantren. Anak kedua Muhammad Yusuf (lahir 1998), tamat SMA. Sekarang sudah kerja jadi tukang kayu. Dia tidak mau disekolahkan, gak mau. Abdul Hidayat yang lahir 2003 masih mesantren," jelasnya.
Namun demikian, usai disinggung hidupnya telah sempurna, Sonaun merespons,
"Ya belum, dan tidak ada yang sempurna. Doakan orang tua saya diampuni dosa-dosanya. Doakan saya juga Mas, setelah haji nanti saya bisa istikamah menjalankan kebaikan, terutama salat, mempersiapkan untuk mati,” ujarnya.
Editor : Miftahudin
Artikel Terkait